welcome

BUCKET SHOP ONLINE

BUCKET SHOP ONLINE
SILAHKAN KLIK GAMBAR

Google Translate

Google PageRank Checker Powered by  MyPagerank.Net

Minggu, 18 Desember 2011

Kisah Tsabit Bin Ibrahim



Seorang lelaki yang saleh bernama Tsabit bin Ibrahim sedang berjalan di pinggiran kota Kufah. Tiba-tiba dia melihat Sebuah apel jatuh keluar pagar sebuah kebun buah-buahan. Melihat apel yang merah ranum itu tergeletak di tanah membuat air liur Tsabit terbit, apalagi di hari yang panas dan tengah kehausan. Maka tanpa berpikir panjang dipungut dan dimakannyalah buah apel yang lezat itu. akan tetapi baru setengahnya di makan dia teringat bahwa buah itu bukan miliknya dan dia belum mendapat ijin pemiliknya. Maka ia segera pergi kedalam kebun buah-buahan itu hendak menemui pemiliknya agar menghalalkan buah yang telah dimakannya.


Di kebun itu ia bertemu dengan seorang lelaki. Maka langsung saja dia berkata, "Aku sudah makan setengah dari buah apel ini. Aku berharap Anda menghalalkannya". Orang itu menjawab, "Aku bukan pemilik kebun ini. Aku Khadamnya yang ditugaskan merawat dan mengurusi kebunnya". Dengan nada menyesal Tsabit bertanya lagi, "Dimana rumah pemiliknya? Aku akan menemuinya dan minta agar dihalalkan apel yang telah kumakan ini." Pengurus kebun itu memberitahukan, "Apabila engkau ingin pergi kesana maka engkau harus menempuh perjalan sehari semalam". Tsabit bin Ibrahim bertekad akan pergi menemui si pemilik kebun itu. Katanya kepada orang tua itu, "Tidak mengapa. Aku akan tetap pergi menemuinya, meskipun rumahnya jauh. Aku telah memakan apel yang tidak halal bagiku karena tanpa seijin pemiliknya. Bukankah Rasulullah Saw sudah memperingatkan kita lewat sabdanya : "Siapa yang tubuhnya tumbuh dari yang haram, maka ia lebih layak menjadi umpan api neraka"


Tsabit pergi juga ke rumah pemilik kebun itu, dan setiba di sana dia langsung mengetuk pintu. Setelah si pemilik rumah membukakan pintu, Tsabit langsung memberi salam dengan sopan, seraya berkata," Wahai tuan yang pemurah, saya sudah terlanjur makan setengah dari buah apel tuan yang jatuh ke luar kebun tuan. Karena itu maukah tuan menghalalkan apa yang sudah kumakan itu ?" Lelaki tua yang ada dihadapan Tsabit mengamatinya dengan cermat. Lalu dia berkata tiba-tiba, "Tidak, aku tidak bisa menghalalkannya kecuali dengan satu syarat." Tsabit merasa khawatir dengan syarat itu karena takut ia tidak bisa memenuhinya. Maka segera ia bertanya, "Apa syarat itu tuan ?" Orang itu menjawab, "Engkau harus mengawini putriku !"


Tsabit bin Ibrahim tidak memahami apa maksud dan tujuan lelaki itu, maka dia berkata, "Apakah karena hanya aku makan setengah buah apelmu yang keluar dari kebunmu, aku harus mengawini putrimu ?" Tetapi pemilik kebun itu tidak menggubris pertanyaan Tsabit. Ia malah menambahkan, katanya, "Sebelum pernikahan dimulai engkau harus tahu dulu kekurangan-kekurangan putriku itu. Dia seorang yang buta, bisu, dan tuli. Lebih dari itu ia juga seorang yang lumpuh!"


Tsabit amat terkejut dengan keterangan si pemilik kebun. Dia berpikir dalam hatinya, apakah perempuan seperti itu patut dia persunting sebagai istri gara-gara setengah buah apel yang tidak dihalalkan kepadanya? Kemudian pemilik kebun itu menyatakan lagi, "Selain syarat itu aku tidak bisa menghalalkan apa yang telah kau makan !"


Namun Tsabit kemudian menjawab dengan mantap, "Aku akan menerima pinangannya dan perkawinanya. Aku telah bertekad akan mengadakan transaksi dengan Allah Rabbul 'alamin. Untuk itu aku akan memenuhi kewajiban-kewajiban dan hak-hakku kepadanya karena aku amat berharap Allah selalu meridhaiku dan mudah-mudahan aku dapat meningkatkan kebaikan-kebaikanku di sisi Allah Ta'ala".


Maka pernikahan pun dilaksanakan. Pemilik kebun itu menghadirkan dua saksi yang akan menyaksikan akad nikah mereka. Sesudah perkawinan usai, Tsabit dipersilahkan masuk menemui istrinya. Sewaktu Tsabit hendak masuk kamar pengantin, dia berpikir akan tetap mengucapkan salam walaupun istrinya tuli dan bisu, karena bukankah malaikat Allah yang berkeliaran dalam rumahnya tentu tidak tuli dan bisu juga. Maka iapun mengucapkan salam ,"Assalamu'alaikum..." Tak dinyana sama sekali wanita yang ada dihadapannya dan kini resmi jadi istrinya itu menjawab salamnya dengan baik. Ketika Tsabit masuk hendak menghampiri wanita itu , dia mengulurkan tangan untuk menyambut tangannya . Sekali lagi Tsabit terkejut karena wanita yang kini menjadi istrinya itu menyambut uluran tangannya. Tsabit sempat terhentak menyaksikan kenyataan ini.


"Kata ayahnya dia wanita tuli dan bisu tetapi ternyata dia menyambut salamnya dengan baik. Jika demikian berarti wanita yang ada dihadapanku ini dapat mendengar dan tidak bisu. Ayahnya juga mengatakan bahwa dia buta dan lumpuh tetapi ternyata dia menyambut kedatanganku dengan ramah dan mengulurkan tangan dengan mesra pula", Kata Tsabit dalam hatinya. Tsabit berpikir, mengapa ayahnya menyampaikan berita-berita yang bertentangan dengan yang sebenarnya ? Setelah Tsabit duduk di samping istrinya , dia bertanya, "Ayahmu mengatakan kepadaku bahwa engkau buta . Mengapa ?" Wanita itu kemudian berkata, "Ayahku benar, karena aku tidak pernah melihat apa-apa yang diharamkan Allah".


Tsabit bertanya lagi, "Ayahmu juga mengatakan bahwa engkau tuli. Mengapa?"

Wanita itu menjawab, "Ayahku benar, karena aku tidak pernah mau mendengar berita dan cerita orang yang tidak membuat ridha Allah. Ayahku juga mengatakan kepadamu bahwa aku bisu dan lumpuh, bukan ?"


Tanya wanita itu kepada Tsabit yang kini sah menjadi suaminya. Tsabit mengangguk perlahan mengiyakan pertanyaan istrinya. Selanjutnya wanita itu berkata, "aku dikatakan bisu karena dalam banyak hal aku hanya menggunakan lidahku untuk menyebut asma Allah Ta'ala saja. Aku juga dikatakan lumpuh karena kakiku tidak pernah pergi ke tempat-tempat yang bisa menimbulkan kegusaran Allah Ta'ala".


Tsabit amat bahagia mendapatkan istri yang ternyata amat saleh dan wanita yang memelihara dirinya. Dengan bangga ia berkata tentang istrinya, "Ketika kulihat wajahnya... Subhanallah , dia bagaikan bulan purnama di malam yang gelap". Tsabit dan istrinya yang salihah dan cantik itu hidup rukun dan berbahagia. Tidak lama kemudian mereka dikaruniai seorang putra yang ilmunya memancarkan hikmah ke seluruh penjuru dunia. Itulah Al Imam Abu Hanifah An Nu'man bin Tsabit.

Senin, 12 Desember 2011

Hachikō-Kisah anjing setia sampai mati kepada tuannya

Hachikō (ハチ公) (10 November 1923-8 Maret 1935) adalah seekor anjing jantan jenis Akita Inu kelahiran Ōdate, Prefektur Akita. Ia terus dikenang sebagai lambang kesetiaan anjing terhadap majikan. Setelah majikannya meninggal, Hachikō terus menunggu majikannya yang tidak kunjung pulang di Stasiun Shibuya, Tokyo.
Julukan baginya adalah Hachikō Anjing yang Setia (忠犬ハチ公 Chūken Hachikō). Patung Hachikō di depan Stasiun Shibuya telah menjadi salah satu marka tanah di Shibuya. Sewaktu membuat janji untuk bertemu di Shibuya, orang sering berjanji untuk bertemu di depan patung Hachikō.


Kisah hidup 
Lahir 10 November 1923 dari induk bernama Goma-go dan anjing jantan bernama Ōshinai-go, namanya sewaktu kecil adalah Hachi. Pemiliknya adalah keluarga Giichi Saitō dari kota Ōdate, Prefektur Akita. Lewat seorang perantara, Hachi dipungut oleh keluarga Ueno yang ingin memelihara anjing jenis Akita Inu. Ia dimasukkan ke dalam anyaman jerami tempat beras sebelum diangkut dengan kereta api yang berangkat dari Stasiun Ōdate, 14 Januari 1924. Setelah menempuh perjalanan sekitar 20 jam, Hachi sampai di Stasiun Ueno, Tokyo.

Hachi menjadi anjing peliharaan Profesor Hidesaburō Ueno yang mengajar ilmu pertanian di Universitas Kekaisaran Tokyo. Profesor Ueno waktu itu berusia 53 tahun, sedangkan istrinya, Yae berusia 39 tahun. Profesor Ueno adalah pecinta anjing. Sebelum memelihara Hachi, Profesor Ueno pernah beberapa kali memelihara anjing Akita Inu, namun semuanya tidak berumur panjang. Di rumah keluarga Ueno yang berdekatan dengan Stasiun Shibuya, Hachi dipelihara bersama dua ekor anjing lain, S dan John. Sekarang, lokasi bekas rumah keluarga Ueno diperkirakan di dekat gedung Tokyo Department Store sekarang.
Ketika Profesor Ueno berangkat bekerja, Hachi selalu mengantar kepergian majikannya di pintu rumah atau dari depan pintu gerbang. Di pagi hari, bersama S dan John, Hachi kadang-kadang mengantar majikannya hingga ke Stasiun Shibuya. Di petang hari, Hachi kembali datang ke stasiun untuk menjemput.
Pada 21 Mei 1925, seusai mengikuti rapat di kampus, Profesor Ueno mendadak meninggal dunia. Hachi terus menunggui majikannya yang tak kunjung pulang, dan tidak mau makan selama 3 hari. Menjelang hari pemakaman Profesor Ueno, upacara tsuya (jaga malam untuk orang meninggal) dilangsungkan pada malam hari 25 Mei 1925. Hachi masih tidak mengerti Profesor Ueno sudah meninggal. Ditemani John dan S, ia pergi juga ke stasiun untuk menjemput majikannya.

Nasib malang ikut menimpa Hachi karena Yae harus meninggalkan rumah almarhum Profesor Ueno. Yae ternyata tidak pernah dinikahi secara resmi. Hachi dan John dititipkan kepada salah seorang kerabat Yae yang memiliki toko kimono di kawasan Nihonbashi. Namun cara Hachi meloncat-loncat menyambut kedatangan pembeli ternyata tidak disukai. Ia kembali dititipkan di rumah seorang kerabat Yae di Asakusa. Kali ini, kehadiran Hachi menimbulkan pertengkaran antara pemiliknya dan tetangga di Asakusa. Akibatnya, Hachi dititipkan ke rumah putri angkat Profesor Ueno di Setayaga. Namun Hachi suka bermain di ladang dan merusak tanaman sayur-sayuran.
Pada musim gugur 1927, Hachi dititipkan di rumah Kikusaburo Kobayashi yang menjadi tukang kebun bagi keluarga Ueno. Rumah keluarga Kobayashi terletak di kawasan Tomigaya yang berdekatan dengan Stasiun Shibuya. Setiap harinya, sekitar jam-jam kepulangan Profesor Ueno, Hachi terlihat menunggu kepulangan majikan di Stasiun Shibuya.

Pada tahun 1932, kisah Hachi menunggu majikan di stasiun mengundang perhatian Hirokichi Saitō dari Asosiasi Pelestarian Anjing Jepang. Prihatin atas perlakuan kasar yang sering dialami Hachi di stasiun, Saitō menulis kisah sedih tentang Hachi. Artikel tersebut dikirimkannya ke harian Tokyo Asahi Shimbun, dan dimuat dengan judul Itoshiya rōken monogatari ("Kisah Anjing Tua yang Tercinta"). Publik Jepang akhirnya mengetahui tentang kesetiaan Hachi yang terus menunggu kepulangan majikan. Setelah Hachi menjadi terkenal, pegawai stasiun, pedagang, dan orang-orang di sekitar Stasiun Shibuya mulai menyayanginya. Sejak itu pula, akhiran (sayang) ditambahkan di belakang nama Hachi, dan orang memanggilnya Hachikō.
Sekitar tahun 1933, kenalan Saitō, seorang pematung bernama Teru Andō tersentuh dengan kisah Hachikō. Andō ingin membuat patung Hachikō. Setiap hari, Hachikō dibawa berkunjung ke studio milik Andō untuk berpose sebagai model. Andō berusaha mendahului laki-laki berumur yang mengaku sebagai orang yang dititipi Hachikō. Orang tersebut menjual kartu pos bergambar Hachikō untuk keuntungan pribadi. Pada bulan Januari 1934, Andō selesai menulis proposal untuk mendirikan patung Hachikō, dan proyek pengumpulan dana dimulai. Acara pengumpulan dana diadakan di Gedung Pemuda Jepang (Nihon Seinenkan), 10 Maret 1934. Sekitar tiga ribu penonton hadir untuk melihat Hachikō.

Patung perunggu Hachikō akhirnya selesai dan diletakkan di depan Stasiun Shibuya. Upacara peresmian diadakan pada bulan April 1934, dan disaksikan sendiri oleh Hachikō bersama sekitar 300 hadirin. Andō juga membuat patung lain Hachikō yang sedang bertiarap. Setelah selesai pada 10 Mei 1934, patung tersebut dihadiahkannya kepada Kaisar Hirohito dan Permaisuri Kōjun.
Selepas pukul 06.00 pagi, tanggal 8 Maret 1935, Hachikō, 13 tahun, ditemukan sudah tidak bernyawa di jalan dekat Jembatan Inari, Sungai Shibuya. Tempat tersebut berada di sisi lain Stasiun Shibuya. Hachikō biasanya tidak pernah pergi ke sana. Berdasarkan otopsi diketahui penyebab kematiannya adalah filariasis.
 
Patung Hachikō di depan StasiunŌdate

Upacara perpisahan dengan Hachikō dihadiri orang banyak di Stasiun Shibuya, termasuk janda almarhum Profesor Ueno, pasangan suami istri tukang kebun Kobayashi, dan penduduk setempat. Biksu dari Myōyū-ji diundang untuk membacakan sutra. Upacara pemakaman Hachikō berlangsung seperti layaknya upacara pemakaman manusia. Hachikō dimakamkan di samping makam Profesor Ueno di Pemakaman Aoyama. Bagian luar tubuh Hachikō diopset, dan hingga kini dipamerkan di Museum Nasional Ilmu Pengetahuan, Ueno, Tokyo.


Tempat pemakaman Profesor Ueno dan Hachikō



Opset tubuh Hachikō di Museum Nasional Ilmu Pengetahuan, Tokyo

Pada 8 Juli 1935, patung Hachikō didirikan di kota kelahiran Hachikō di Ōdate. tepatnya di depan Stasiun Ōdate. Patung tersebut dibuat serupa dengan patung Hachikō di Shibuya. Dua tahun berikutnya (1937), kisah Hachikō dimasukkan ke dalam buku pendidikan moral untuk murid kelas 2 sekolah rakyat di Jepang. Judulnya adalah On o wasureruna (Balas Budi Jangan Dilupakan).
Pada tahun 1944, di tengah berkecamuknya Perang Dunia II, patung perunggu Hachikō ikut dilebur untuk keperluan perang. Patung pengganti yang sekarang berada di Shibuya adalah patung yang selesai dibuat bulan Agustus 1948. Patung tersebut merupakan karya pematung Takeshi Andō, anak laki-laki Teru Andō.
Pintu keluar Stasiun JR Shibuya yang berdekatan dengan patung Hachikō disebut Pintu Keluar Hachikō. Sewaktu didirikan kembali tahun 1948, patung Hachikō diletakkan di bagian tengah halaman stasiun menghadap ke utara. Namun setelah dilakukan proyek perluasan halaman stasiun pada bulan Mei 1989, patung Hachikō dipindah ke tempatnya yang sekarang dan menghadap ke timur.

Film Hachikō Monogatari karya sutradara Seijirō Kōyama mulai diputar di Jepang, Oktober 1987. Pada bulan berikutnya diresmikan patung Hachikō di kota kelahirannya, Ōdate. Monumen peringatan ulang tahun Hachikō ke-80 didirikan 12 Oktober 2003 di lokasi rumah kelahiran Hachikō di Ōdate. Sebuah drama spesial tentang Hachikō ditayangkan jaringan televisi Nippon Television pada tahun 2006. Drama sepanjang dua jam tersebut diberi judul Densetsu no Akitaken Hachi (Legenda Hachi si Anjing Akita). Pada tahun 2009 film Hachiko: A Dog's Story, karya sutradara Lasse Hallström mulai diputar dan dibintangi oleh Richard Gere dan Joan Allen.


tamu