pemeluknya yang
akan memasuki jenjang pernikahan, lengkap dengan tata
cara atau
aturan-aturan Allah Subhanallah. Sehingga mereka yang
tergolong ahli
ibadah, tidak akan memilih tata cara yang lain. Namun
di masyarakat
kita, hal ini tidak banyak diketahui orang.
Pada risalah yang singkat ini, kami akan mengungkap
tata cara
penikahan sesuai dengan Sunnah Nabi Muhammad
shallallahu `alaihi wa
sallam yang hanya dengan cara inilah kita terhindar
dari jalan yang
sesat (bidah). Sehingga orang-orang yang
mengamalkannya akan berjalan
di atas landasan yang jelas tentang ajaran agamanya
karena meyakini
kebenaran yang dilakukannya. Dalam masalah pernikahan
sesunggguhnya
Islam telah mengatur sedemikian rupa. Dari mulai
bagaimana mencari
calon pendamping hidup sampai mewujudkan sebuah pesta
pernikahan.
Walaupun sederhana tetapi penuh barakah dan tetap
terlihat mempesona.
Islam juga menuntun bagaimana memperlakukan calon
pendamping hidup
setelah resmi menjadi sang penyejuk hati.
Berikut ini kami akan membahas tata cara pernikahan
menurut Islam
secara singkat.
Hal-Hal Yang Perlu Dilakukan Sebelum Menikah
I. Minta Pertimbangan
Bagi seorang lelaki sebelum ia memutuskan untuk
mempersunting seorang
wanita untuk menjadi isterinya, hendaklah ia juga
minta pertimbangan
dari kerabat dekat wanita tersebut yang baik agamanya.
Mereka
hendaknya orang yang tahu benar tentang hal ihwal
wanita yang akan
dilamar oleh lelaki tersebut, agar ia dapat memberikan
pertimbangan
dengan jujur dan adil. Begitu pula bagi wanita yang
akan dilamar oleh
seorang lelaki, sebaiknya ia minta pertimbangan dari
kerabat dekatnya
yang baik agamanya.
II. Shalat Istikharah
Setelah mendapatkan pertimbangan tentang bagaimana
calon isterinya,
hendaknya ia melakukan shalat istikharah sampai
hatinya diberi
kemantapan oleh Allah Taala dalam mengambil keputusan.
Shalat istikharah adalah shalat untuk meminta kepada
Allah Taala agar
diberi petunjuk dalam memilih mana yang terbaik
untuknya. Shalat
istikharah ini tidak hanya dilakukan untuk keperluan
mencari jodoh
saja, akan tetapi dalam segala urusan jika seseorang
mengalami rasa
bimbang untuk mengambil suatu keputusan tentang urusan
yang penting.
Hal ini untuk menjauhkan diri dari kemungkinan
terjatuh kepada
penderitaan hidup. Insya Allah ia akan mendapatkan
kemudahan dalam
menetapkan suatu pilihan.
III. Khithbah (peminangan)
Setelah seseorang mendapat kemantapan dalam menentukan
wanita
pilihannya, maka hendaklah segera meminangnya.
Laki-laki tersebut
harus menghadap orang tua/wali dari wanita pilihannya
itu untuk
menyampaikan kehendak hatinya, yaitu meminta agar ia
direstui untuk
menikahi anaknya. Adapun wanita yang boleh dipinang
adalah bilamana
memenuhi dua syarat sebagai berikut, yaitu:
1. Pada waktu dipinang tidak ada halangan-halangan
syari yang
menyebabkan laki-laki dilarang memperisterinya saat
itu. Seperti
karena suatu hal sehingga wanita tersebut haram dini
kahi selamanya
(masih mahram) atau sementara (masa iddah/ditinggal
suami atau ipar
dan lain-lain).
2. Belum dipinang orang lain secara sah, sebab Islam
mengharamkan
seseorang meminang pinangan saudaranya.
Dari Uqbah bin Amir radiyallahu anhu bahwa Rasulullah
shallallahu
alaihi wa sallam bersabda: "Orang mukmin adalah
saudara orang mukmin
yang lain. Maka tidak halal bagi seorang mukmin
menjual barang yang
sudah dibeli saudaranya, dan tidak halal pula meminang
wanita yang
sudah dipinang saudaranya, sehingga saudaranya itu
meninggalkannya."
(HR. Jamaah)
Apabila seorang wanita memiliki dua syarat di atas
maka haram bagi
seorang laki-laki untuk meminangnya.
IV. Melihat Wanita yang Dipinang
Islam adalah agama yang hanif yang mensyariatkan
pelamar untuk melihat
wanita yang dilamar dan mensyariatkan wanita yang
dilamar untuk
melihat laki-laki yang meminangnya, agar masing-
masing pihak
benar-benar mendapatkan kejelasan tatkala menjatuhkan
pilihan pasangan
hidupnyaDari Jabir radliyallahu anhu, bersabda
Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam:
"Apabila salah seorang di antara kalian meminang
seorang wanita, maka
apabila ia mampu hendaknya ia melihat kepada apa yang
mendorongnya
untuk menikahinya." Jabir berkata: "Maka aku meminang
seorang budak
wanita dan aku bersembunyi untuk bisa melihat apa yang
mendorong aku
untuk menikahinya. Lalu aku menikahinya." (HR. Abu
Daud dan dihasankan
oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahih Sunan Abu Dawud,
1832). Adapun
ketentuan hukum yang diletakkan Islam dalam masalah
melihat pinangan
ini di antaranya adalah:
1. Dilarang berkhalwat dengan laki-laki peminang tanpa
disertai mahram.
2. Wanita yang dipinang tidak boleh berjabat tangan
dengan laki- laki
yang meminangnya.
V. Aqad Nikah
Dalam aqad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban
yang harus dipenuhi:
a. Adanya suka sama suka dari kedua calon mempelai.
b. Adanya ijab qabul.
Ijab artinya mengemukakan atau menyatakan suatu
perkataan. Qabul
artinya menerima. Jadi Ijab qabul itu artinya
seseorang menyatakan
sesuatu kepada lawan bicaranya, kemudian lawan
bicaranya menyatakan
menerima. Dalam perkawinan yang dimaksud dengan "ijab
qabul" adalah
seorang wali atau wakil dari mempelai perempuan
mengemukakan kepada
calon suami anak perempuannya/ perempuan yang di bawah
perwaliannya,
untuk menikahkannya dengan lelaki yang mengambil
perempuan tersebut
sebagai isterinya. Lalu lelaki bersangkutan menyatakan
menerima
pernikahannya itu. Diriwayatkan dalam sebuah hadits
bahwa:
Sahl bin Said berkata: "Seorang perempuan datang
kepada Nabi
shallallahu alaihi wa sallam untuk menyerahkan
dirinya, dia berkata:
"Saya serahkan diriku kepadamu." Lalu ia berdiri lama
sekali (untuk
menanti). Kemudian seorang laki-laki berdiri dan
berkata: "Wahai
Rasulullah kawinkanlah saya dengannya jika engkau
tidak berhajat
padanya." Lalu Rasulullah shallallahu alaih wa sallam
bersabda: "Aku
kawinkan engkau kepadanya dengan mahar yang ada
padamu." (HR. Bukhari
dan Muslim).
Hadist Sahl di atas menerangkan bahwa Rasulullah
shallallahu alaihi wa
sallam telah mengijabkan seorang perempuan kepada Sahl
dengan mahar
atau maskawinnya ayat Al-Quran dan Sahl menerimanya.
c. Adanya Mahar (mas kawin)
Islam memuliakan wanita dengan mewajibkan laki-laki
yang hendak
menikahinya menyerahkan mahar (mas kawin). Islam tidak
menetapkan
batasan nilai tertentu dalam mas kawin ini, tetapi
atas kesepakatan
kedua belah pihak dan menurut kadar kemampuan. Islam
juga lebih
menyukai mas kawin yang mudah dan sederhana serta
tidak
berlebih-lebihan dalam memintanya.
Dari Uqbah bin Amir, bersabda Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam:
"Sebaik-baik mahar adalah yang paling ringan." (HR.
Al-Hakim dan Ibnu
Majah, shahih, lihat Shahih Al-Jamius Shaghir 3279
oleh Al-Albani)
d. Adanya Wali
Dari Abu Musa radliyallahu anhu, Nabi shallallahu
alaihi wa sallam
bersabda: "Tidaklah sah suatu pernikahan tanpa wali."
(HR. Abu Daud
dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih
Sunan Abi Dawud no.
1836).Wali yang mendapat prioritas pertama di antara
sekalian
wali-wali yang ada adalah ayah dari pengantin wanita.
Kalau tidak ada
barulah kakeknya (ayahnya ayah), kemudian saudara
lelaki seayah seibu
atau seayah, kemudian anak saudara lelaki. Sesudah itu
barulah
kerabat-kerabat terdekat yang lainnya atau hakim.
e. Adanya Saksi-Saksi
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
"Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali dan dua
orang saksi
yang adil." (HR. Al-Baihaqi dari Imran dan dari
Aisyah, shahih, lihat
Shahih Al-Jamius Shaghir oleh Syaikh Al-Albani no.
7557).
Menurut sunnah Rasul shallallahu alaihi wa sallam,
sebelum aqad nikah
diadakan khuthbah lebih dahulu yang dinamakan
khuthbatun nikah atau
khuthbatul-hajat.
VI. Walimah
Walimatul Urus hukumnya wajib. Dasarnya adalah sabda
Rasulullah
shallallahu alaih wa sallam kepada Abdurrahman bin
Auf:
"....Adakanlah walimah sekalipun hanya dengan seekor
kambing." (HR.
Abu Dawud dan dishahihkan oleh Al-Alabni dalam Shahih
Sunan Abu Dawud
no. 1854)
Memenuhi undangan walimah hukumnya juga wajib."Jika
kalian diundang
walimah, sambutlah undangan itu (baik undangan
perkawinan atau yang
lainnya). Barangsiapa yang tidak menyambut undangan
itu berarti ia
telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya." (HR.
Bukhari 9/198,
Muslim 4/152, dan Ahmad no. 6337 dan Al-Baihaqi 7/262
dari Ibnu Umar).
Akan tetapi tidak wajib menghadiri undangan yang
didalamnya terdapat
maksiat kepada Allah Taala dan Rasul-Nya, kecuali
dengan maksud akan
merubah atau menggagalkannya. Jika telah terlanjur
hadir, tetapi tidak
mampu untuk merubah atau menggagalkannya maka wajib
meninggalkan
tempat itu.
Dari Ali berkata: "Saya membuat makanan maka aku
mengundang Nabi
shallallahu `alaihi wa sallam dan beliaupun datang.
Beliau masuk dan
melihat tirai yang bergambar maka beliau keluar dan
bersabda:
"Sesungguhnya malaikat tidak masuk suatu rumah yang di
dalamnya ada
gambar." (HR. An-Nasai dan Ibnu Majah, shahih, lihat
Al-Jamius Shahih
mimma Laisa fis Shahihain 4/318 oleh Syaikh Muqbil bin
Hadi Al-Wadii).
Adapun Sunnah yang harus diperhatikan ketika
mengadakan walimah adalah
sebagai berikut:
1. Dilakukan selama 3 (tiga) hari setelah hari dukhul
(masuk- nya)
seperti yang dibawakan oleh Anas radliallahu `anhu,
katanya:
Dari Anas radliallahu `anhu, beliau berkata:
"Rasulullah
shallallahu`alaihi wa sallam telah menikahi Shafiyah
dengan maskawin
pembebasannya (sebagai tawanan perang Khaibar) dan
mengadakan walimah
selama tiga hari." (HR. Abu Yala, sanad hasan, seperti
yang terdapat
pada Al-Fath 9/199 dan terdapat di dalam Shahih
Bukhari 7/387 dengan
makna seperti itu. Lihat Adabuz Zifaf fis Sunnah
Al-Muthaharah oleh
Al-Albani hal. 65)
2. Hendaklah mengundang orang-orang shalih, baik
miskin atau kaya
sesuai dengan wasiat Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam:
"Jangan bersahabat kecuali dengan seorang mukmin dan
jangan makan
makananmu kecuali seorang yang bertaqwa." (HR. Abu
Dawud, At-Tirmidzi,
Ibnu Hibban dan Al-Hakim dari Abi Said Al-Khudri,
hasan, lihat Shahih
Al-Jamius Shaghir 7341 dan Misykah Al-Mashabih 5018).
3. Sedapat mungkin memotong seekor kambing atau lebih,
sesuai dengan
taraf ekonominya. Keterangan ini terdapat dalam hadits
Al-Bukhari,
An-Nasai, Al-Baihaqi dan lain-lain dari Anas
radliallahu `anhu.
Bersabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
kepada Abdurrahman
bin Auf:
"Adakanlah walimah meski hanya dengan seekor kambing."
(HR. Abu Dawud
dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu
Dawud no. 1854)
Akan tetapi dari beberapa hadits yang shahih
menunjukkan dibolehkan
pula mengadakan walimah tanpa daging. Dibolehkan pula
memeriahkan
perkawinan dengan nyanyi-nyanyian dan menabuh rebana
(bukan musik)
dengan syarat lagu yang dinyanyikan tidak bertentangan
dengan ahklaq
seperti yang diriwayatkan dalam hadits berikut ini:
Dari Aisyah bahwasanya ia mengarak seorang wanita
menemui seorang pria
Anshar. Nabi shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:
"Wahai Aisyah,
mengapa kalian tidak menyuguhkan hiburan? Karena kaum
Anshar senang
pada hiburan." (HR. Bukhari 9/184-185 dan Al-Hakim
2/184, dan
Al-Baihaqi 7/288). Tuntunan Islam bagi para tamu
undangan yang datang
ke pesta perkawinan hendaknya mendoakan kedua mempelai
dan
keluarganya.Dari Abi Hurairah radhiyallahu anhu bahwa
Rasulullah
shallallahu alaih wa sallam jika mengucapkan selamat
kepada seorang
mempelai, beliau mengucapkan doa: "Mudah-mudahan Allah
memberimu
berkah. Mudah-mudahahan Allah mencurahkan keberkahan
kepadamu dan
mudah - mudahan Dia mempersatukan kalian berdua dalam
kebajikan." (HR.
Said bin Manshur di dalam Sunannya 522, begitu pula
Abu Dawud 1/332
dan At-Tirmidzi 2/171 dan yang lainnya, lihat Adabuz
Zifaf hal. 89)
Adapun ucapan seperti "Semoga mempelai dapat murah
rezeki dan banyak
anak" sebagai ucapan selamat kepada kedua mempelai
adalah ucapan yang
dilarang oleh Islam, karena hal itu adalah ucapan yang
sering
dikatakan oleh Kaum jahiliyyah.
Dari Hasan bahwa Aqil bin Abi Thalib menikah dengan
seorang wanita
dari Jisyam. Para tamu mengucapkan selamat dengan
ucapan jahiliyyah:
"Bir rafa wal banin." Aqil bin Abi Thalib mencegahnya,
katanya:
"Jangan kalian mengatakan demikian karena Rasulullah
melarangnya."
Para tamu bertanya: " Lalu apa yang harus kami ucapkan
ya Aba Zaid?"
Aqil menjelaskan, ucapkanlah: "Mudah- mudahan Allah
memberi kalian
berkah dan melimpahkan atas kalian keberkahan."
Seperti itulah kami
diperintahkan. (HR. Ibnu Abi Syaibah 7/52/2, An-Nasai
2/91, Ibnu Majah
1/589 dan yang lainnya, lihat Adabuz Zifaf hal. 90)
Demikianlah tata cara pernikahan yang disyariatkan
oleh Islam. Semoga
Allah Taala memberikan kelapangan bagi orang- orang
yang ikhlas untuk
mengikuti petunjuk yang benar dalam memulai hidup
berumah tangga
dengan mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu alaih
wa sallam.
Mudah-mudahan mereka digolongkan ke dalam hamba-hamba
yang dimaksudkan
dalam firman-Nya: "Yaitu orang-orang yang berdoa: Ya
Rabb kami,
anugerahkan kepada kami isteri-isteri kami dan
keturunan kami sebagai
penyenang hati (kami). Dan jadikanlah kami imam bagi
orang-orang yang
bertaqwa." (Al-Furqan: 74).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar